Single Blog Title

This is a single blog caption
27 Feb 2021

Naskah tanggapan untuk liputan tentang banjir Jakarta (Februari 2021)

Naskah ini merupakan tanggapan untuk sebuah liputan media eletronik tentang banjir Jakarta yang terjadi di bulan Februari 2021.

Klik gambar di atas untuk menonton videonya.
Penjelasan lengkap direkam terpisah dan tayang sebagai bahan kuliah di sini (klik gambar di atas).

Jurnalis: Istiarto Sigit

Tim narsum:

Pertanyaan:

  1. Apa yang menjadi penyebab utama banjir Jakarta
  2. Apa yang paling harus segera dibenahi di Jakarta
  3. Apa konsekuensi terburuk jika masalah banjir ini tidak segera diatasi?

Tanggapan:

Yang kami sampaikan di sini sebenarnya sudah pernah disampaikan oleh berbagai pihak sejak awal 2000an, salah satunya oleh Tim KK Geologi Terapan (Prof. Deny Juanda, Prof. Lambok M. Hutasoit dan tim) serta KK Eksplorasi Sumber Daya Bumi (Prof. Sudarto Notosiswoyo dan Dr. Lilik Eko Widodo) di depan berbagai pihak.

Klik gambar untuk mengakses salindia.

Pertanyaan pertama: Apa yang menjadi penyebab utama banjir Jakarta

Lingkungan berubah. Perilaku kita tetap sama atau belum cukup untuk mengompensasi perubahan yang kita lakukan.

  • kapasitas lingkungan berbeda-beda. pada kondisi natural, alam akan dapat menyesuaikan suplai air yang masuk. air banyak, sungai melebar. air sedikit, alur sungai akan lebih sempit.
  • yang terjadi kita telah mengubah sistem tersebut dengan kecepatan “jauh lebih cepat” dibandingkan waktu penyesuaian yang dibutuhkan alam dan tanpa melakukan penyesuaian.
  • kalaupun penyesuaian dilakukan, tapi itu tidak cukup untuk menyeimbangkan alam.

Dari butir-butir di atas, maka dapat disampaikan bahwa penyebab utama sebenarnya bukan hujan, tetapi tindakan penyesuaian kita yang belum cukup untuk mengompensasi perubahan-perubahan yang kita lakukan kepada alam.

Ketika hujan lebat turun, maka air akan mencari jalan paling cepat untuk mengalir mengikuti gravitasi. Salah satu arah aliran yang dicarinya adalah ke bawah permukaan. Resapan air ini terjadi sangat kecil dan lambat relatif bila dibandingkan curah hujan dan kecepatan aliran air dipermukaan. Jadi dalam kasus hujan lebat (ekstrim atau tidak ekstrim), yang perlu kita perhatikan adalah timbulnya artificial runoff (AR) atau air larian permukaan buatan. AR muncul karena berbagai rekayasa yang kita buat, misal bangunan, jalan. Air ini akan mengalir dengan cepat ke saluran drainase yang ada.

Hal lainnya adalah kondisi geologi yang tersusun atas endapan aluvial muda yang masih lunak, sebagai hasil dari sistem aliran sungai. Selain itu juga ada lapisan-lapisan lempung di dalamnya. Lapisan lempung ini memiliki kompresibilitas tinggi, sehingga mudah mengerut kalau menerima beban. Inilah yang kemudian dinamai penurunan muka tanah. Selain itu penyedotan air tanah juga dapat mempercepat penurunan tanah tersebut.

Lihat pula skema dalam salindia.

Pertanyaan kedua: Apa yang paling harus segera dibenahi di Jakarta

Tiga jenis air harus dipikirkan/dibenahi bersama.

  • air hujan: ini bisa jadi adalah satu-satunya yang tidak dapat kita kendalikan.
  • air sungai:
    • Selain upaya-upaya seperti pengerukan dan pelebaran sungai, disain drainase juga sudah saatnya memperhitungkan hasil pengukuran penurunan air tanah (lihat videonya di sini). Dari beberapa literatur yang digambarkan dengan baik dalam video ini, tercatat ada periode pada tahun 1700an, Pemerintah Belanda tidak melakukan pemeliharaan kanal seperti biasa dan langsung menyebabkan banjir.
    • Dengan melihat pola penurunan tanah tersebut, maka drainase bisa jadi tidak seluruhnya mengalir ke utara, ke arah pantai. Ini menyebabkan genangan-genangan banjir yang terlokalisasi. Air bisa saja tidak dapat mengalir ke mana-mana, terutama dengan sungai-sungai yang juga sudah penuh.
    • Di awal 2000an beberapa ahli, salah satunya adalah kelompok dari ITB (Prof. Deny Juanda, Prof. Lambok Hutasoit, dan Prof. Sudarto Notosiswoyo) pernah menyarankan untuk melakukan injeksi air permukaan (air banjir) ke akuifer dalam. Tentunya ini membutuhkan eksperiman langsung dengan membuat sumur bor yang benar dan melakukan injeksi air. Proses eksperimen ini yang baru dalam tahap pemodelan komputer, belum pernah terjadi secara nyata. Menginjeksikan air seperti ini sudah menjadi keseharian industri migas dan geotermal.
    • Ide lainnya adalah mengurangi AR agar mendekati kondisi alamiah sedekat mungkin. Caranya adalah dengan menampung air hujan yang jatuh di atap bangunan-bangunan luas (bisa perumahan, perkantoran, pusat perdangangan, mall). Kalau ini dilakukan, maka jumlah air yang signifikan dapat ditahan agar tidak ikut membanjiri selokan.
  • air tanah:
    • Rasanya sudah sangat sering, para peneliti memberikan masukan bahwa air tanah harus dikelola. Dan untuk mengelola, maka pemantauan adalah langkah pertama. Pengambilan air tanah yang berlebihan atau bahkan “pengambilan air tanah tanpa izin” dapat dipantau dari data sumur-sumur pantau. Bila ini dapat dilakukan, maka penyedotan air tanah dapat dikendalikan. Pada akhirnya langkah ini dapat mengurangi lajur penurunan tanah.

Pertanyaan ketiga: Apa konsekuensi terburuk jika masalah banjir ini tidak segera diatasi?

Ini sepertinya tetap kami biarkan sebagai pertanyaan terbuka, karena dampak banjir bisa sangat luas. Apa saja dapat terjadi.

Beberapa referensi:

  1. Jakarta, the fastest-sinking city in the world
  2. Land subsidence characteristics of Jakarta between 1997and 2005, as estimated using GPS surveys
  3. Land subsidence of Jakarta (Indonesia) and its relation with urban development
  4. Mapping land subsidence in Jakarta, Indonesia using persistent scatterer interferometry (PSI) technique with ALOS PALSAR
  5. Perfect storm #banjirjakarta2020

Liputan telah tayang pada hari Sabtu 27 Februari 2021 di Liputan 6 (website, instagram).

EnglishIndonesia