Is (earth) science only made for everyone who speaks English?
An abstract for Goldschmidt 2021 Session 14f. The full manuscript will be sent to an Indonesian journal Journal of Mining and Environmental Technology.
Is (earth) science only made for everyone who speaks English?
Dasapta Erwin Irawan[1][2] dan Arif Susanto[1]
[1] Faculty of Earth Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung
[2] RINarxiv preprint server Indonesia
Is geoscience made for people who can speak English? Is (earth) science made for everyone who speaks English Dasapta Erwin Irawan and Arif Susanto Science can come from anyone and be made for all. But with the current research situation, we need to redefine it. Our experiments use volcanology themes (Mount Krakatau, Mount Merapi) and disaster themes (Aceh Tsunami and Flood) which can be found in scientific databases (commercial and non-profit) to determine the extent of the collaboration of geoscience researchers in the world and how they build knowledge from prior knowledge.
Some of the earliest indications we found: (1) international collaboration has occurred with the majority of research funding flowing from the northern hemisphere. This will (automatically) determine: who is the first author, what language is used (not Indonesian), the journal that published it (not Indonesian journal), (2) the first and second points have the potential to distance science from the main stakeholders (local communities), (3) minimal references to articles written in Indonesian.
Based on these indications, it is time for us to change the way of scientific communication, especially if the object of our research is in a country that does not use English as the main language. Scientific publications need to be returned to their main function as tools for dissemination, rather for self-promotion. We need to go a step further than the science communication we are doing today. Open access is not relates also for language.
Open access means both accessible documents and accessible language.
Apakah ilmu (kebumian) hanya dibuat untuk orang yang dapat berbahasa Inggris?
Dasapta Erwin Irawan dan Arif Susanto
Sains dapat berasal dari siapa saja dan dibuat untuk semua. Tapi dengan situasi riset saat ini, maka kita perlu mendefinisikan ulang. Eksperimen kami menggunakan tema vulkanologi (Gunung Krakatau, Gunung Merapi) dan tema bencana (Tsunami Aceh dan Banjir) yang dapat ditemukan dalam pangkalan data ilmiah (komersial dan nirlaba) untuk mengetahui sejauh mana kolaborasi peneliti ilmu kebumian di dunia dan bagaimana mereka membangun ilmu pengetahuan dari pengetahuan sebelumnya.
Beberapa indikasi awal yang kami temukan: (1) kolaborasi internasional telah terjadi dengan mayoritas dana riset mengalir dari belahan utara. Ini (secara otomatis) akan menentukan: siapa penulis pertamanya, apa bahasa yang digunakan (bukan Bahasa Indonesia), jurnal yang menerbitkannya (bukan jurnal Indonesia), (2) poin pertama dan kedua berpotensi menjauhkan sains dengan pemangku kepentingan utama (masyarakat lokal), (3) minim rujukan kepada artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia.
Berdasarkan indikasi tersebut, sudah saatnya kita mengubah cara komunikasi saintifik khususnya bila obyek penelitian kita berada di suatu negara yang tidak menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Publikasi sains perlu dikembalikan kepada fungsi utama sebagai perangkat diseminasi, bukan sebagai perangkat untuk menonjolkan diri. Kita perlu melangkah lebih jauh dari komunikasi sains yang kita lakukan sekarang.
Akses terbuka bukan hanya akses untuk pdf tapi juga untuk bahasa.